Rabu, 05 Februari 2014

Sepucuk Harapan yang Ingin Ku Gapai

Aku mencintai seseorang yang bernama Heri. Perkenalan Aku dengannya lumayan cukup lama. Namun pendekatan kami bisa di anggap terlalu singkat. Malam itu Heri menjanjikan untuk mengajariku bermain gitar.  Entah perasaan itu tumbuh dari sejak kapan. Aku pun tak pernah menyadarinya. Hati dan perasaanku berubah melihat tingkah dan sikap Heri padaku. Mulai dari senyum sapa, mengajariku gitar sambil menyentuh jemariku, bahkan dia menyanyikan lagu Sempurna. Sumpah perasaanku berubah menjadi kacau. Rasa itu menjadi nyata. Senang tidak karuan dengan mendengar alunan lagu dan petikan gitar yang cantik di hiasi dengan senyuman dan tatapan mata yang penuh makna.
“Romantisnya” Gumamku melihatnya. Tidak begitu lama aku mendengarkan setiap nada yang Dia mainkan. Aku berpikir tentang peraturan asrama. Mataku tertuju pada arloji yang selalu ku pakai. Waktu sudah menunjukan pukul 21.15 WIB. “Sudah larut, tapi Aku masih ingin bersamanya. Mendengar bahkan melihat dia tersenyum. Hmm tidak apalah, kan masih ada hari esok” Pikirku saat itu. Aku bergegas merapikan segala yang ku bawa. Mulai dari laptop, charger handphone ataupun charger  laptopku. “Aku pulang duluan ya. Makasih sudah mengajariku main gitar dan bernyanyi bersamaku” Ucapku sebelum meninggalkan Dia. “Oke Ka sama-sama” Jawabnya sambil tersenyum. “Manisnya seyummu itu Heri” Gumamku membalas senyumnya.
Hari mulai pagi dan datang gelap lagi. Cepat sekali rasanya waktu itu berjalan. Tidak ada rencana. Tidak ada kegiatan. Semua sama saja.
Malam itu aku ingin sekali menemuinya. Banyak sekali yang ingin ku bicarakan. Mulai dari perhatiannya. Panggilan sayang dan yang lainnya.
Perbincangan kami di mulai. Suasana malam yang di hiasi bintang yang kerlap-kerlip. Suara teriakan teman-teman yang sedang menonton bola bersama. Sampai merasakan hembusan angin malam yang cukup nusuk ketulang. Entah di mulai dari apa dan bagaimana. Kami terdiam. Suasana semakin hening saja. Beberapa saat  Aku yang memulai membuka perbincangan kami.
Perbincangan kesana-kemari. Tertawa canda gurau hingga akhirnya kembali hening. “Salah tidak, jika aku menyukai kakak seniorku?” Tanyanya. “Hmm ya tidaklah, itukan hak semua orang untuk suka sama siapa saja Heri” Jawabku tersenyum. “Tapi salah tidak jika aku menyukai dan menyayangi Kak Suci?” Tanyanya lagi. Kali ini pertanyaannya mengkagetkanku. “Ya Allah, Heri menyatakan cintanya padaku.” Gumamku kaget. Hening dengan suasana dingin. Hening dengan pernyataan Heri. Apa yang harus aku jawab. Apa yang harus aku lakukan dengan semua ini. Bagaimana jika Aku menolaknya. Aku memejamkan mata dan bertanya tentang perasaan selama ini. Apa iya aku menyukainya. Apakah iya aku hanya sekedar kagum seperti yang lainnya.
Pernyataan itu aku jawab dengan tarikan nafas yang panjang. Aku menjawab “Iya”. Dan aku menerimanya. Entah apa yang aku pikirkan dengan semua ini. Aku masih mempunyai seorang kekasih. Tetapi ada apa dengan hati ini. Dengan perasaan ini? Apa begitu istimewanya Heri dalam pandanganku. Ketika awal mulai mengenal Heri. Dia adalah seorang pria yang baik, pintar dan rapi di bandingkan dengan teman-temannya yang lain. Terlihat sangat tampan dan berwibawa kata kebanyakan orang yang menilainya. Namun entahlah menurutku..
          Hari-hari masih di hiasi rasa senang dan bahagia bersama Heri. Bercanda gurau, bercerita ini dan itu, dan masih banyak yang lain. Setiap harinya bertemu, menyapa dan saling memperhatikan. Perbedaan tidak menjadikan suatu  masalah yang membebani kami. Setiap waktunya ibadah Aku selalu mengingatkan Heri untuk pergi ke Gereja dan sebaliknya. Heri selalu mengingatkanku untuk Shalat. Kami tidak mempermasalahkan tentang perbedaan. Semuanya berjalan dengan baik mengenai perasaan sayang Aku dan Dia Bahkan perbedaan bisa menyatukan cinta kami berdua.
          Entah kenapa pernyataan tempo hari tidak semulus perjalanan cinta kami. Tidak semudah apa yang dikatakan. Bahkan tidak secantik apa yang di lihat. Banyak masukan-masukan menilai hubungan ini. Mulai dari keluarga, sahabat atau teman.
          Perjalanan cinta kami memang terbilang masih seumur jagung. Atau mungkin masih tidak ada apa-apanya. Namun pernyataan kebanyakan orang menilai adalah lebih baik sakit untuk sekarang di bandingkan mempertahankan tapi endingnya lebih menyakitkan. Mengapa kebanyakan orang berkata seperti itu. Apakah salah kami saling sayang bahkan saling mencinta. Apakah salah tentang perbedaan. Aku tidak pernah meminta Heri untuk ketempat dimana aku ibadah. Begitupun dengan Heri yang tidak pernah meminta hal yang sama. Mengapa Aku dan Dia tidak diizinkan bersama. Mengapa Tuhan menciptakan kami yang beda. Mengapa Tuhan mengizinkan rasa ini tumbuh. Mengapa? Kenapa Tuhan?.
          “Ya Allah ampuni aku. Aku mencintainya. Aku menyayanginya. Apakah rasa ini salah Ya Allah? Kenapa seperti itu?” Teriakku lirih.
          Dalam sujudku dan do’aku. Aku meminta kepadaMu. “Jika Engkau meridhoi kami, dekatkanlah. Namun jika Engkau tidak meridhoi kami, hapus rasa ini perlahan Ya Allah. Jangan buat senyuman ini berubah menjadi tetesan air mata. Ya Allah aku mencintainya”.
          Perjalanan cinta kami masih berjalan dengan baik. Banyak lika-liku yang terkadang membuat perasaan ini lelah. Namun sepucuk harapan masih ingin ku pertahankan. Begitupun dengan Heri yang selalu berusaha menjadi yang terbaik.
          Setiap minggunya Heri pergi ke gereja untuk berdo’a dan beribadah. Setiap waktu adzan memanggil itu waktunya aku berinteraski dengan sang Maha Pencipta. Tangan terselip salib dan tangan menadah keatas. Al-Kitab dan Al-Quran pun menjadi tombak ketegaran kami. Walau kami berbeda tapi Tuhan tetaplah satu. Hanya saja kami berbeda dengan keyakinan masing-masing. “Apakah perbedaan bisa membuat kita menjadi satu” Gumamku lirih. Entah pertanyaan itu bisa terjawab atau tidak. Semua kami hanya bisa pasrahkan kepada-Nya.
          Sulit sekali menggapai sepucuk harapan itu Ya Allah. Sulit amat sangat sulit. Bagaimana caraku untuk menggapainya?
          Jatuh cinta kepada Heri begitu menyenangkan. Begitu indah dan bahagia. Seperti memeluk dalam dekapan kasih yang tiada tara. Seperti menemukan kepingan puzzle yang sedang di susun. Seperti memandang indah warna-warni pelangi penuh dengan kecerahan. Ya Allah cinta dan kasih ini sudah berada tepat di tempat yang seharusnya. Relung hatiku dan hatinya. Namun, mengapa resah ini sangat merajai kita? Mengapa kita berbeda? Jika Engkau mengizinkan mengapa mereka menyalahkan?
          Diam-diam aku selalu menitipkan sepucuk harapan. Ya, hanya sepucuk harapan yang indah dalam ribuan kerlap-kerlipnya bintang di langit. Harapan itu adalah aku ingin hari dan masa depanku selalu bersamamu. Dan hanya akan bersamamu. Aku mencintaimu, selalu. Aku selalu mendo’akanmu sepanjang waktu. Perhatianku tidak pernah hilang sampai kapanpun. Dalam linangan air mata seolah tidak mampu mengutarakan kenyataanku yang mencintaimu. Namun do’a ini akan terus mengalir menyertai hubungan kita hingga akhirnya sepucuk harapan itu menjadi nyata.
“maafkan, hanya ini yang aku mampu. Maafkan aku terlalu mencintaimu dan tidak sempurna untukmu”

Sabtu, 01 Februari 2014

Waktu Yang Tersita

Sinar matahari dari balik jendela membangunkan tidurku yang terbilang kurang nyenyak. Melelahkan sekali. Seperti biasanya setiap terbangun aku selalu melihat telepon genggam yang tidak jauh dari tempat tidurku. Entah apa yang kucari. Aku hanya ingin tersenyum melihat, mungkin membaca atau mendengar setiap untaian kata darinya. Ucapan selamat pagi, bagaimana kabar, tidurku nyenyak atau tidak dan mungkin masih banyak lagi kata-kata yang aku harapkan. Tapi semua kata-kata itu hanya ada dalam skenario para penulis yang membuat cerita-cerita romantis didalam buku saja. Kakiku melangkah berat kearah jendela. Tidak lain hanya ingin melihat sosok pria yang selama ini menjadi kekasihku.
Aku menyibakan sedikit tirai jendela. Melihat kearah pintu yang terbuka di depan sana. Mencari dan terus mencari Dia. Namun tidak ada. Kali ini tirai jendela aku buka lebar bahkan jendela kamar pun ku buka selebar-lebarnya untuk memastikan kembali. Lagi-lagi aku mencarinya. Hmm... Tetap saja tidak ada.
"Oh Tuhan aku merindukannya bahkan sangat merindukannya. Apakah ada Dia merasakan perasaan ini, hati ini..?" Renungku.
Terlintas aku untuk meneleponnya. Terdengar suara gemuruh lalulintas yang terbilang sedikit mengkagetkanku. "Hallo sayang?" Sapa Heri. Aku terdiam entah kenapa, ada terselip rasa bingung. "Sayang??" Sapanya lagi. "Oh iya, dimana?" Tanyaku serius. "Aku sedang di angkutan mau pergi Ibadah ke Gereja bersama teman-teman yang lain. Mungkin aku pulang sore dan malamnya aku ada kegiatan kampus" Jelasnya. "Hmmm, begitu. Ya sudah hati-hati di jalan dan sukses buat hari ini" Jawabku singkat.
"Tidak adalagi harapan untuk bersamanya. Rencana untuk mengajaknya bertemu pun lenyap begitu saja. Malam minggu ini mungkin aku bisa isi dengan menonton Televisi atau mungkin mendengarkan musik" Gumamku.
Kenapa waktu tersita untuk kami Tuhan?
Tuhan... Apakah Dia tahu bagaimana sakitnya aku dengan semua keadaan ini? Mengapa Engkau biarkan rasa sesakit ini?
Tuhan beri tahu Dia tentang sebenarnya hati ini sakit menahan rindu. Rindu dengan semua yang dulu kami rasakan. Senyuman hangat, canda gurau, tatapan matanya yang tajam, sentuhannya, pelukannya ganggaman tangannya, Petikkan gitar dan alunan lagu yang selalu aku dengar.
Pesanku Tuhan.... Aku sangat mencintainya dan rasa ini akan tetap sama walau waktu tersita untuk kami.


"Dari seseorang yang selalu setia dan tulus menunggu waktu untuk bersamamu walau kadang lelah..."